D3 pr3 5i
Part 1 Menjv 4l Rumah
FB : Tika Nurrama
“Tanda tangan di sini,” titah Mas Arya padaku seraya menyerahkan beberapa lembar kertas yang sudah disiapkan notaris.
Hari ini adalah hari dimana Mas Arya menju4l rumah kami. Sebuah rumah yang kami tinggali hampir 3 tahun sejak anakku yang bernama Kanaya Putri Azzura masih bayi. Kami mengambil rumah di sebuah perumahan cluster yang terletak di daerah kota Bekasi. Sebuah perumahan yang letaknya tak jauh dari tempat pembuangan sampah terbesar di kota ini.
“Kamu benar-benar akan menju4l rumah ini, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar menahan tangis.
Aku belum bisa merelakan rumah kami diju4l. Meski baru 3 tahun kami tempati, tapi di rumah ini banyak kenanganku bersama para tetangga yang menjadi sahabatku di sini. Apa lagi rumah ini baru 6 bulan selesai direnovasi. Oleh tangan bapakku yang profesinya sebagai tukang kuli bangunan.
Bapak merenovasi rumah kami tanpa meminta bayaran. Dibantu oleh adik laki-lakiku yang sa’at itu masih menganggur dan belum mendapatkan pekerjaan. Bapak merenovasi rumah ini sebagus dan serapih mungkin. Agar anak, menantu dan cucunya merasa nyaman tinggal di sini.
“Mau gimana lagi? Ini jalan satu-satunya agar kita tidak kesulitan uang lagi. Ini rumah komersil yang setiap sa’at cicilannya selalu naik. Aku sudah tidak kuat membayar cicilan rumah yang angsurannya semakin besar.”
“Tapi, Mas—“
“Kalau kamu tidak mau rumah ini diju4l? Memangnya kamu bisa membayar uang cicilannya? Kamu sendiri aja gak kerja,” ucap Mas Arya.
Aku agak tersinggung dengan ucapannya. Karena semenjak menikah aku memang tidak bekerja. Hanya menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan Mas Arya bekerja di sebuah pabrik perusahaan dengan statusnya yang sudah menjadi karyawan tetap.
“Udah cepetan tanda tangan! Notarisnya sudah menunggu dari tadi. Gak enak juga sama orang yang membeli rumah ini,” titah Mas Arya lagi.
Sejak notaris dan si pembeli rumah datang, aku hanya menemui mereka sebentar untuk sekedar menyapa. Lalu memilih masuk ke dalam kamarku. Saking beratnya melepas rumah, hingga aku tak sanggup berlama-lama dengan mereka. Ditambah dengan keadaanku yang sa’at ini sedang h4mil 2 bulan. Masih dalam masa mabok dan membuat aku sensitive dengan apapun yang ada di sekitarku. Termasuk bau parfum yang menyengat dari para tamu itu.
Aku men4ngis, memohon pada Mas Arya untuk membatalkan saja. Tapi Mas Arya tetap pada keputusannya.
“Mas janji setelah ini kita akan cari rumah subsidi yang operan di daerah sini. Biar kamu tetap bisa bertemu dengan teman-temanmu,” ucap Mas Arya membujukku.
Salah satu tujuannya menju4l rumah ini memang ingin mencari rumah subsidi agar cicilannya lebih ringan.
“Janji ya kita cari rumah subsidi?” pintaku.
“Iya … janji! Ya udah nih tanda tangan dulu!”
Mas Arya menyodorkan lembaran kertas lagi. Dengan tangan gemetar dan air mata yang tetap mengalir, kuraih lembaran kertas itu. Mas Arya juga memberiku pulpen.
“Tanda tangan di sini!” titah Mas Arya sambil menunjuk kolom bertuliskan Rika Rahayu, namaku.
Dengan berat hati, akhirnya kugoreskan setiap lembaran itu dengan tanda tangan dan sidik jariku. Setelah semua selesai, Mas Arya menyerahkan kembali semua lembaran kertas itu kepada si Bapak notaris.
Aku kembali menangis tersedu-sedu seraya menutup wajahku dengan bantal. Entah kenapa hatiku seakan tak percaya dengan apa yang dijanjikan Mas Arya. Sebab dia juga pernah berencana untuk mengajak aku pindah ke kampung halamannya dan tinggal bersama mertuaku. Aku belum siap untuk itu. Aku takut ucapan Mas Arya tadi hanya omong kosong agar aku mau menanda tangani semua surat itu.
“Alhamdulillah semua sudah selesai. Dan sekarang rumah ini sudah sah pindah kepemilikannya,” ucap seorang pria yang kutebak itu pasti si Bapak notaris.
Hatiku semakin hancur. Sudah berusaha mempertahankan, tapi pada akhirnya rumah ini terlepas juga.
“Ma’af sebelumnya, Pak Arya. Kalau bisa minggu depan rumah ini sudah dikosongkan ya. Karena saya dan keluarga akan segera menempatinya.”
Kali ini aku kenal suaranya. Dia Pak Robi, yang membeli rumah kami.
“Baik, Pak. Secepatnya kami akan kosongkan rumah ini,” balas Mas Arya.
“Ya sudah … kalau begitu kami permisi dulu,” kata Pak Robi.
Sa’at tahu mereka hendak berpamitan, aku keluar dari kamar untuk menemui mereka. Dengan mata sembab tentunya. Kami pun bersalaman. Aku mencoba untuk tetap bersikap ramah. Meski sebenarnya hatiku marah terhadap mereka karena sudah membeli rumah ini. Rasanya aku masih belum bisa ikhlas dengan semuanya. Kenangan di dalam rumah ini seakan sudah melekat dalam jiwaku. Tapi Mas Arya tak mau mengerti itu.
Selepas mereka pergi, aku kembali masuk ke dalam kamarku. Kembali menangis sambil memeluk bantal. Perih? Sudah pasti. Kudengar suara langkah Mas Arya yang ikut masuk menghampiriku. Namun aku tak memperdulikannya. Aku masih tenggelam dalam tangisku.
***
Cerita ini hanya ada di KBMapp sudah tamat di bab 30.
Penulis : Nurramatika
https://kbm.id/book/detail/dcc25a25-0998-42be-9585-603f106df93c