WETON PEMBAWA SIAL
"Cerai saja! Weton kalian nggak cocok. Anak lahir bisu & tuli. Hidup miskin. Besok Bapak urus ke Pengadilan Agama."
*****
Part 1
Kubaca berulang kali goresan pena pada buku diary bersampul hitam. Melihat tanggal dan tahun yang tertera sekitar 1998 sampai awal tahun 2000-an. Hampir sepuluh tahun telah lewat. Saat itu, Indonesia sedang dalam keadaan tidak stabil.
Kerusuhan besar di ibukota berimbas ke seluruh negeri. Tragedi bermula dari halaman kampus Trisakti dengan terbunuhnya mahasiswa yang sedang berdemonstrasi, krisis moneter berkepanjangan, pembakaran, penculikan, pembunuhan, penjarahan, pelecehan, pemerkosaan hingga dampak paling dahsyat adalah perpecahan bangsa.
Aku terjebak dalam kericuhan sengit di pertokoan Glodok kala itu. Toko-toko dibakar masa. Jeritan dan lolongan meminta tolong membuatku keluar dari tempat bekerja. Ribuan orang seperti anak panah melesat kian kemari.
Api bergerak cepat sekali. Ia menghabisi apa saja yang dilewati. Gemeretak benda termakan api, seperti nyanyian rindu di tengah padang ilalang kering. Jelaga hitam menyulang angkasa biru. Panasnya seumpama matahari tepat di atas kepala, mendidihkan segala yang ada.
Beruntung aku masih bisa melarikan diri. Mas Gigih, suami yang telah kusakiti sedang mengambil gambar dengan kamera tuanya. Ia menyeret dan membawaku pergi. Sampai saat ini aku masih belum mengerti mengapa mas Gigih tiba-tiba saja ada di tempat itu.
“Aku sedang mengabadikan sejarah,” ucapnya begitu mataku penuh dengan tanya.
Pekerjaannya, lebih tepat kusebut hobi,- memotret dan mengambil gambar-gambar aneh. Dua hari sebelum peristiwa Glodok, Mas Gigih dengan bangga menceritakan bahwa ia berada di area kampus Trisakti.
Demi apa? Ya, demi mengabadikan sejarah seperti yang dikatakan. Aku curiga, jangan-jangan memang Mas Gigih sedang menguntitku siang itu hingga ke tempat kerja. Bukankah seharusnya dia mengantar dan menjaga Gayatri?
Mungkin Mas Gigih merasa punya kekuatan super yang bisa meramal kejadian di masa yang akan datang. Tentu saja itu musykil, bukan? Hanya Tuhan yang tahu hal gaib, termasuk kejadian masa depan.
Foto yang diambil Mas Gigih ketika itu, menjadi foto terakhir yang dikerjakan. Keinginannya untuk menjadi fotografer terkenal pupus seketika. Ia menjadi buron orang-orang tak dikenal karena memiliki foto para perusuh, juga harus merawat sakitku.
“Kita harus pergi sebelum dilenyapkan,” cetus Mas Gigih sepanjang perjalanan menuju rumah.
Kami berjalan kaki. Tidak ada angkutan kota beroperasi. Berdua menyusuri gang kecil jauh dari jalan raya. Satu jam kemudian kami tiba di rumah.
“Kenapa begitu?”
Aku menggerundel. Seenaknya Mas Gigih mengajakku pergi. Bagaimana dengan pekerjaanku? Bagaimana kami akan mendapatkan uang. Dia saja tidak bekerja. Cuma ambil foto sana sini tak menghasilkan uang.
Bagaimana harus makan dan menyekolahkan Gayatri yang bisu dan tuli? Uang untuk menunjang pendidikannya tidak sedikit.
Belum lagi orang tuaku yang selalu menyalahkan pernikahan kami. Kemiskinan yang kami hadapi tidak lepas dari larangan menikah karena weton. Meski akhirnya restu kudapat, tetap saja semua kemalangan dikaitkan dengan hal itu.
“Karena foto yang kuambil, berisi wajah-wajah para pelaku,” desis Mas Gigih tepat di telingaku. Aroma keringat dan asap menjadi satu.
“Pelaku apa?” Aku tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Mas Gigih.
“Pelaku kerusuhan dua hari lalu.” Mas Gigih duduk dengan napas terengah-engah begitu kami sampai di rumah.
“Kamu yakin? Tapi, aku .... Aku ....”
Ergh! Bagaimana harus kukatakan bahwa pengajuan gugatan sedang dalam proses? Tinggal menunggu panggilan saja dari Pengadilan Agama. Aku menggugat cerai Mas Gigih atas desakan keluarga.
Setelah berhasil menyelamatkan dari kerusuhan, Mas Gigih berpikir bahwa aku harus mengikutinya pergi. Kami akan melarikan diri ke sebuah daerah sepi di dekat perkebunan teh yang dingin dan sepi, membawa serta putri semata wayang yang terlahir bisu dan tuli.
Kehidupan yang berat dan menegangkan harus kami lewati dalam keterbatasan. Kami tidak memberi kabar pada keluarga demi keamanan.
Mengenang semua itu membuat jantung ini berdetak lebih cepat dari laju angin yang menerjang pucuk-pucuk hijau daun teh baru tumbuh. Setelah menengadah agar air mata tidak tumpah, kubuka kembali setiap lembar diary di pangkuan.
Buku itu tersimpan di laci meja dan sudah lama tidak kubuka. Bukan karena lupa, tetapi dulu memang ingin kubuang benda itu. Sekarang, aku bersyukur mencatat semua peristiwa yang telah lewat. Selain bisa mengenang indahnya musim bunga, aku juga masih bisa merasakan pedihnya luka.
Begitulah dunia tidak selamanya hujan mendera. Pada suatu masa, hujan-hujan itu akan membersihkan noda dan menumbuhkan bunga dan tanaman untuk kehidupan manusia.
Kubuka lagi halaman berikutnya. Isinya masih sama. Tentang sesal dan sakitnya diri melalui semua. Sebenarnya aku tak ingin membaca tulisan-tulisan itu lagi. Namun, sebuah energi membuatku terus membalik setiap lembarnya.
Ada foto Gayatri, anak semata wayang yang kulahirkan bisu dan tuli sejak lahir. Di bagian belakang foto, tertulis tanggal pengambilan gambar. Tinta hitam tak lagi sempurna, warnyanya berubah menjadi kecoklatan dan meleber. Aku yakin itu tulisan tangan milikku.
Tidak ingin larut dalam perih, kuletakkan buku di meja. Kursi roda kuarahkan mendekat jendela. Dengan tangan gemetar, kusingkap tirai yang terbuat dari kerang-kerang kecil.
Perlahan-lahan aku berusaha berdiri untuk melihat dunia luar dengan tangan bertumpu pada bibir jendela. Tungkai kaki terasa berat menahan beban tubuh ini. kupaksa berdiri mencengkeram kusen kayu.
Kuhirup udara segar. Cahaya langit sore membuat bunga-bunga kertas di halaman terlihat indah. Sebentar lagi, malam yang kutunggu kelam dan heningnya tiba. Jendela harus segera ditutup sebelum gelap menyergap.
Usai menutup daun jendela dengan susah payah, aku kembali ke kursi roda. Godaan untuk membaca diary kembali datang. Ketika kubuka, terpampang foto Mas Gigih saat mengucapkan ijab kabul pada penghujung September tahun 1989.
Aku tersenyum dengan hati pedih. Orang yang kusakiti selama ini adalah yang paling sayang dan mencintaiku. Aku baru mengetahuinya setelah tubuhku di dera rasa sakit. Hanya Mas Gigih yang senantiasa memeluk dan menguatkan tanpa kata bahkan puisi cinta.
Gerimis di mataku mulai mengembun. Sebentar lagi dada ini akan meruahkan sesak yang menyiksa. Ah, perempuan, selalu saja tidak percaya pada tindakan. Malah lebih menyukai kata-kata abstrak tentang cinta, padahal ia serupa beludak menyebar bisa beracun yang sanggup membunuh mangsa.
Andai kutahu sejak dulu bahwa Mas Gigih adalah orang yang paling mencintaiku, tentu aku tidak akan membuatnya terluka terlebih dahulu.
Ribuan musim berganti tanpa menyisakan celah untukku untuk mengucap maaf. Semua telah terjadi, tidak mungkin diulang dan diperbaiki apa yang sudah terlewati. Biarlah buku-buku ini menjadi sejarah atas cinta kami.
“Mas, aku mau be-ol.”
Perut terasa mual. Aku tidak bisa ke kamar mandi, atau membersihkan kotoran sendiri. Untuk berdiri saja tidak sanggup.
Mas Gigih datang membawa lampin pengganti. Laki-laki berusia tiga tahun lebih tua dariku, hingga kini masih melakukan kegiatan lamanya berkutat dengan kamera dan gambar-gambar di dinding. Jika dulu semua serba sulit, kini Mas Gigih bisa menjual foto-foto hasil jepretannya secara on-line. Dari situlah kami bertahan dan membesarkan Gayatri.
Sore ini, Mas Gigih membersihkan kotoran dan memandikanku seperti biasa. Setelah itu, laki-laki yang wajahnya terlihat makin keriput dan lelah, akan menghibur dengan memainkan gitar dan menunjukkan foto-foto tentang sawah, gunung serta Gayatri kecil.
“Nah, sudah cantik. Kita minum teh di beranda. Aku sudah potongkan apel untukmu.” Mas Gigih mendorong kursi roda setelah memuji kecantikanku.
Duduk di beranda menghadap perkebunan teh dan bunga kertas, kami dendangkan sajak ‘Nokturno’. Senja itu aku ingin dunia menjadi malam selamanya.
****
#Nokturno (Maafkan Aku) - Kusuma Widjayanti_My Book
Maafkan aku telah mencipta luka di hatimu. Luka yang sama membuat jiwaku hilang arah.
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/66e5c645-4dab-4b45-b914-ea564801004a?af=41c48b15-8c69-ce1c-e10b-a9b64fc12b72
JANGAN PANGGIL THOR! AKU BUKAN AVENGER. PANGGIL SAJA BIDADARI HARUM MEWANGI MESKI BELUM MANDI KUSUMA WIDJAYANTI
Yanti