16 Maret 1998, kuajukan gugatan cerai atas desakan keluarga. Karena alasan weton pembawa sial menyebabkan anakku terlahir bisu dan tuli, serta keluarga didera kemiskinan. Weton Wage & Pahing seharusnya tidak bersama.
****
#Nokturno
2
Namaku Galuh Maharani, pekerja harian di salah satu toko elektronik di kawasan Glodok. Keluarga ayahku asli dari Solo masih memegang teguh adat istiadat Jawa. Aku terlahir bermata sipit dengan kulit pucat. Mungkin karena Ibu membawa gen Melayu, sehingga fisikku hampir mirip dengannya.
Usiaku bulan depan tiga puluh tahun. Orang-orang mengenalku sebagai istri Gigih Prasetyo, lelaki pemalas yang lebih banyak berkutat dengan kamera kuno peninggalan orang tuanya daripada mencari kerja yang lebih mapan.
Hari ini, Senin 16 Maret 1998, aku mengajukan gugatan cerai pada Mas Gigih. Berat memang, tetapi aku sudah tidak tahan harus menanggung sendiri semua kebutuhan rumah tangga, termasuk sekolah Gayatri putriku yang terlahir bisu dan tuli. Aku sudah muak meminta Mas Gigih untuk segera mencari kerja agar bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga.
Kemampuan fotografi Mas Gigih seharusnya bisa dimanfaatkan untuk bekerja di bidang yang sesuai. Aku sudah sering menawarkan pekerjaan, mengenalkan pada kolega dan mencari lowongan di koran. Semua usaha itu ditolak mentah-mentah.
Mas Gigih tidak suka bekerja dalam tekanan. Ia memilih bekerja dengan kemauannya sendiri. Bagi Mas Gigih, mengabadikan foto atau lukisan itu tidak bisa dipaksakan. Ia memoto yang disuka dan diinginkan. Benar-benar tidak bisa dibelokan apabila sudah bertekad demikian, keras kepala.
Keinginanku untuk berpisah sudah kusampaikan sebulan bulan lalu. Aku sudah memikirkan dan memutuskan untuk berpisah.
Pagi itu di hari Minggu, kami berdua sedang duduk di taman kota. Kubiarkan Gayatri bermain sendiri mengejar kupu-kupu. Mas Gigih masih sibuk memainkan kamera dengan tali terkalung di leher.
Bunga-bunga di awal musim penghujan mulai semi dan bermekaran. Kupu-kupu terbang mencari madu di antara kelopak bunga dan dedaunan. Gayatri riang berlarian tanpa suara.
Di bangku panjang aku duduk dengan tenang. Kaki menjuntai di atas rerumputan hijau. Perlahan angin menerbangkan helai-helai rambutku hingga menutup sebagian dahi. Kurapikan segera ke sisi telinga agar tidak menganggu pandangan.
“Mas, aku tidak bisa mengharapkanmu lagi. Aku paham, kamu sudah berusaha bertahan. Tapi aku juga butuh uang, Mas. Buat makan, rumah, baju, dan sekolah Gayatri. Selama ini aku kerja pontang-panting di luar, kamu bahkan tidak membantu menyesaikan pekerjaan rumah.”
Setiap kali aku bicara, Mas Gigih pergi dan tidak mau mendengar. Seperti kali ini, ia sibuk mengambil gambar pada obyek-obyek di sekitar kami. Usai aku berbicara, ia merunduk dan mengambil posisi memotretku.
Suara kamera terdengar. Kulirik sebentar. Mas Gigih sedang mengambil fotoku berkali-kali dari berbagai arah. Ia sama sekali tidak memberi aba-aba. Laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut gondrong terikat ke belakang itu terus memotret.
Puas denganku, ia mengarahkan lensa ke taman bermain. Di sana, kulihat Gayatri bermain ayunan. Seorang anak lelaki mendorongnya dari belakang. Entah bagaimana mereka berkomunikasi, Gayatri tidak bicara sebagaimana anak-anak pada umumnya.
“Gayatri mirip sekali denganmu, cantik, lincah dan pandai bergaul. Ia tak pernah malu dengan keadaannya. Berani sepertimu. Kuat dan hebat," puji Mas Gigih pada gadis berkepang dua belajan jiwaku.
Gayatri gadis kecil hebat yang kulahirkan tujuh tahun lalu. Meski kondisinya bisu dan tuli, ia tidak pernah rendah diri. Hanya saja, keluarga beranggapan jika kekurangan Gayatri disebabkan oleh pernikahanku yang tidak disetujui oleh Ayah.
Wetonku ‘wage’, sedangkan Mas Gigih ‘pahing’. Jika keduanya digabung menjadi ‘ge-ing’. Menurut Ayah, weton kami bernilai rendah dan buruk hingga bisa menyebabkan terjadi musibah dalam keluargaku.
Mulanya aku tidak percaya. Setelah berbagai kesulitan dan melihat derita Gayatri, aku merasa petuah orang tua ada benarnya. Lebih-lebih sifat malas Mas Gigih makin memperparah kepercayaan Ayah terhadap larangannya untukku.
“Iya. Gayatri memang anakku.”
Aku tersadar pada pembicaraan dengan Mas Gigih mengenai Gayatri. Mataku tidak bisa lepas dari gerak-gerik anak perempuanku.
“Setelah ini kita pulang, yuk!”
Mas Gigih menggenggam jemariku. Dahulu, senyumnya bisa menghangatkan kalbu. Kini perasaanku kosong dan hambar.
Sudah terlambat. Aku akan segera pergi. Seandainya Mas Gigih mau berusaha lebih keras lagi, mungkin hatiku tidak akan sedingin ini.
“Mas tidak dengar aku tadi ngomong apa?”
Aku menoleh kecewa. Heran saja mengapa laki-laki itu tidak marah setelah kuutarakan maksud untuk mengakhiri pernikahan kami. Aku sudah bosan dan lelah dengan kemalasannya.
“Dengar,” jawabnya masih dalam senyum yang sama seperti sepuluh tahun lalu saat kami bertemu di lorong kampus.
“Trus?”
Aku tidak habis pikir terhadap reaksinya. Bagaimana bisa ada laki-laki menerima begitu saja digugat cerai? Jangan-jangan, memang ia tidak pernah mencintaiku. Kalau cinta ia pasti akan memohon agar aku bertahan, setidaknya menghibur. Ini tidak sama sekali.
“Galuh, aku mencintaimu.” Binar mata lindap itu masih bercerita tentang kidung asmara yang telah lama kulupa.
“Itu saja?” pekikku sinis. “Cinta?”
“Itu saja.” Mas Gigih kembali dengan kameranya. Karena gerakannya sedikit terhambat, ia meletakkan kamera dan mengikat rambut panjang dan lebat ke belakang. Mas Gigih mengenakan jaket jeans biru dengan beberapa saku di bagian depan.
“Tapi- tapi ....” Aku mulai protes.
"Seribu kali kamu minta berpisah, dua ribu kali aku akan memelukmu dan mengatakan hal itu.” Mas Gigih menjauh.
Suara kamera menangkap obyek yang dibidik. Seekor kupu-kupu hinggap di atas bunga. Sayapnya mengepak tiada henti. Ia menghisap nektar dengan mulut penghisap yang panjang.
Hiih! Selalu begini. Aku belum selesai bicara Mas Gigih mengalihkan perhatian. Kuikuti langkah Mas Gigih agar laki-laki itu berhenti dengan kegiatannya dan fokus pada pembicaraan kami.
“Aku mau cerai!” pekikku setelah berdiri. Harapanku, dengan kata cerai kali ini Mas Gigih paham pada kemarahanku.
“OK.”
“OK, gimana? Kita cerai?”
“Kan, itu maumu. Mauku tidak begitu.”
Mas Gigih menarik tanganku dan mengajak pulang. Ia mendekati Gayatri dan mengangkatnya di atas leher. Mereka berjalan riang seperti tak terjadi apa-apa.
Gayatri menepuk pundak Mas Gigih dan memberi isyarat menunjuk ke kolam ikan. Mas Gigih mengikuti kemauannya.
Masih kuingat kebahagiaan mereka. Terekam jelas di pelupuk mata setiap kali aku memicing. Sebulan setelah pembicaraan di taman, surat gugatan telah kulayangkan. Sudah bulat tekadku mengajukan khuluk pada Mas Gigih.
Aku bisa hidup sendiri tanpa laki-laki. Aku tidak membutuhkan suami jika gajiku sendiri cukup untuk membiayai kebutuhan kami.
Pulang dari Pengadilan Agama, aku terjebak macet. Radio yang dinyalakan oleh sopir angkot memberitakan berbagai masalah negeri setelah pelantikan Presiden Soeharto 10 Maret lalu.
“Total Utang Luar Negeri per Maret 1998 mencapai 138 milar dollar AS. RAPBN 1998/2999 yang telah diumumkan per Januari 1998 dinilai berbagai pakar ekonomi tidak realistis. Indeks Harga Saham Gabungan di BEJ anjlok di titik terendah 292,12 point.”
Kudengarkan berita dalam hening. Seluruh penumpang berjumlah enam orang, tiada ekspresi. Sopir menggerutu. Harga bensin melambung tinggi. Sembako mulai langka. Uang belanja dari hasil keringatnya tidak mencukupi kebutuhan keluarga.
Dalam diam, aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuh ini. Ada yang basah di bagian kewanitaan dan sakit berdenyut di sekitarnya. Aku meringis menahan ngilu.
“Kiri, Pak! Kiri!”
Di simpang menuju tempat kerja, aku minta turun. Rumah masih terlalu jauh. Lebih baik ke toko lebih dulu yang lebih dekat.
Begitu turun, kutekan bagian bawah perut. Sakitnya tidak tertahan lagi.
____
#Nokturno (Maafkan Aku) - Kusuma Widjayanti_My Book
Maafkan aku telah mencipta luka di hatimu. Luka yang sama membuat jiwaku hilang arah.
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/66e5c645-4dab-4b45-b914-ea564801004a?af=41c48b15-8c69-ce1c-e10b-a9b64fc12b72
JANGAN PANGGIL THOR! AKU BUKAN AVENGER. PANGGIL SAJA BIDADARI HARUM MEWANGI MESKI BELUM MANDI KUSUMA WIDJAYANTI
@Yanti