Siang itu aku pulang dari Pengadilan Agama mengurus perceraian atas desakan keluarga karena weton kami tidak cocok. Anakku lahir bisu dan tuli. Hidup miskin. Harga sembako melambung tanpa kendali. BBM naik tinggi. Susu bayi tak terbeli. Krisis Moneter kian menyulitkan wong cilik. Aksi demo makin ricuh. Sekarang dokter mengatakan hasil pap smearku ....
****
#Nokturno
3
“Kamu kenapa, Ran?” tanya rekan kerjaku, Jessica,- gadis keturunan Chinese bermata sipit. Rambutnya lurus dicat warna orange. Kacamata bulat membuat kesan chubby di wajahnya. Di toko elektronik ini, ia menempati bagian accounting.
Siang itu terik sekali. Aku segera masuk ke ruangan dengan mesin pendingin. Kulemparkan tas di kursi, lalu kugeser sedikit untuk duduk. Kurebahkan kepala di meja Jessica. Roda kursi bergerak, kutarik lagi agar aku bisa duduk dengan tenang.
“Nggak tahu, nih. Nggak enak banget badanku,” keluhku.
Setelah berjalan dari ujung gang, kakiku terasa nyeri. Siang itu aku memakai flat-shoes kulit berwarna cokelat tua, dipadu pakaian setelan blazer warna senada. Karena gerah, kulepas pakaian itu dan menyampirkan di kursi.
Biasanya, aku hanya mengenakan kemeja polos dan celana bahan drill untuk bekerja. Setelah menyelesaikan kuliah D-3 Accounting di salah satu Perguruan Tinggi swasta di Jogja, aku diterima bekerja di toko Koh A Chung yang memiliki beberapa cabang di berbagai kota besar.
Jessica mengambilkan air mineral dan menyodorkannya padaku. “Pucet banget, lu! Pusing?”
Gadis berusia dua puluh lima tahun itu berdiri memijat bahuku. Kuangkat kepala dan meregangkan otot. Sudah lama tidak merasakan pijatan di bagian bahu dan punggung, rasanya nikmat sekali.
“Enggak.”
Kuremas-remas lagi bagian bawah perutku. Seperti ada mesin gilis sedang menekan kuat sekali. Denyutnya hingga membuat tubuhku gemetar.
“Lagi dapet kali?” Jessica mendekat. Jemari lentik bercat warna merah menyala, menyentuh puncak kepalaku.
Setelah kuiangat-ingat, jadwal menstruasi sudah seminggu lalu. Waktu itu juga sakit sekali di bagian perut. Sudah kucoba minum anti nyeri dan mengambil posisi nungging, tetap saja tidak hilang nyerinya.
“Udah minggu lalu,” jawabku dengan suara lemah. Kuteguk perlahan-lahan air yang diberikan Jessica, lega.
“Kayaknya kamu sering ngeluh gini. Apa sebaiknya nggak periksa saja?”
Jessica duduk kembali di kursinya setelah letih memijit. Ia menyingkirkan berkas-berkas laporan untuk menemaniku bicara.
Sudah hampir tiga tahun aku mengalami keputihan berlebihan dan siklus haid yang tidak menentu. Sering buang air dan cepat sekali merasa lelah, kaki pegal dan nyeri. Sekarang, sakit di bagian bawah tidak tertahan lagi. Rasanya aku mau pingsan saja.
“Kuanterin, deh,” usul Jessica. Wajahnya terlihat khawatir.
Jessica memang gadis baik. Meski kami berbeda, ia tidak pernah membahasnya. Gadis itu juga sangat menyayangi Gayatri.
“Besok aja, Jes,” tolakku pelan. “Aku hanya mau istirahat saja, minum obat anti nyeri. Paling setengah jam sudah sembuh.”
Aku berdiri sempoyongan. Kuambil tas dan pamit keluar. Jessica membimbing dengan mengaitkan tangannya di pinggang agar aku tidak jatuh.
“Yakin?” tanya Jessica. Sepertinya gadis itu tidak percaya dengan jawabanku.
Bagaimana mau percaya? Mulutku mengatakan yakin, tetapi langkahku tidak sempurna. Aku terhuyung dan bersandar ke dinding dekat pintu keluar. Jessica makin erat menjaga agar tubuhku tidak limbung.
Mungkin aku terlalu lelah. Mengurus pekerjaan rumah semenjak dini, menyiapkan keperluan sekolah Gayatri, memastikan semua berjalan dengan baik saat kutinggal hingga sore.
Ibu pernah berpesan agar aku tidak perlu terlalu perfeksinis. Manusia punya batas kemampuan fisik. Tidak bisa memaksakan diri sempurna dalam segala hal. Jika aku bekerja di luar rumah, tenagaku harus lebih banyak dilebihkan untuk pekerjaan. Sedangkan pekerjaan rumah, asal anak-anak makan dan suami kenyang, bisa ditunda jika badanku sudah segar.
Beginilah jadinya kalau memaksakan diri. Mencari nafkah yang seharusnya tugas Mas Gigih kuambil alih. Sementara tugas-tugas domestik tetap juga harus kubereskan. Dua pekerjaan yang sama-sama membutuhkan tenaga dan menguras pikiran.
Bersyukur saja Gayatri bukan termasuk anak yang rewel. Kadang gadis kecil itu bisa kuminta membantu menyapu dan mencuci piring. Meski tidak sebersih yang kuinginkan, paling tidak bisa sedikit mengurangi pekerjaan.
Mas Gigih ke mana saat aku letih bekerja dan mengurus rumah? Kalau tidak tidur, ya berkutat dengan kamera analog tuanya, menyusun gambar-gambar yang sudah dicetak, lalu mengamati setiap lembarnya sambil minum kopi di studio.
Studio yang kumaksud hanya sebuah ruangan tiga kali tiga meter yang terletak di sebelah kamar tidur Gayatri. Di sana ada sebuah meja dan kursi, seperangkat komputer, dindingnya dipenuhi tempelan foto yang tersusun tidak beraturan.
“Istirahat saja dulu. Nanti pulang bareng aku.” Jessica mengantarku ke bagian belakang ruko. Di sana disediakan tempat istirahat dan salat bagi karyawan muslim.
Aku mengangguk lemah. “Sepertinya besok pagi aku memang harus izin untuk memeriksakan diri. Sampaikan ke Koh A Chung. Aku libur sehari.”
“Kamu tidur dulu aja. Tunggu aku selesaikan laporan hari ini.”
“Makasih, Jess,” bisikku lirih. Kutelan obat anti nyeri yang selalu kubawa di tas dan meneguk air yang dibawakan Jessica.
Kucoba merebahkan diri dan meluruskan badan di lantai beralas karpet warna hijau. Ruangan kecil menjadi sejuk. Jessica menyalakan kipas angin agar aku tidak kegerahan. Lampu dinyalakan, semua terlihat benderang.
“Ada apa, Jess?” Beberapa pegawai berkerumun. Mereka mengintip ke dalam ruangan.
Jessica mengusir mereka dan berteriak. “Apaan, sih! Kerja lagi sono! Orang sakit malah jadi tontonan.”
Kulambaikan tangan dan memberi isyarat pada teman-temanku agar tidak perlu khawatir. Kebrikan senyum untuk menenangkan mereka.
Sorenya, dengan diantar Jessica dan tanpa memberi tahu Mas Gigih terlebih dahulu, aku memeriksakan diri ke klinik tak jauh dari rumah. Buat apa memberitahunya? Paling juga nggak punya duit untuk membayar tagihan dan obat-obatan.
Klinik tidak terlalu ramai. Saat namaku dipanggil, aku segera masuk menemui Dokter Dina,- dokter kandungan yang dulu membantu persalinan Gayatri. Perempuan paruh baya itu menyapaku dengan ramah.
“Wah, sudah lama sakitnya. Kenapa tidak pernah periksa?”
Dokter Dina memberi penjelasan tentang perlunya pap-smear bagi wanita yang sudah menikah. Seharusnya, pap-smear dilakukan setiap satu hingga dua tahun sekali bagi pasangan yang sudah menikah.
Jujur saja, aku takut menjalani rangkaian tesnya. Membayangkan ada alat besi masuk ke dalam tubuhku, rasanya ngilu dan sakit. Sore ini, aku pasrah saat Dokter Dina melakukan prosedur pap-smear.
Sebuah alat seperti cocor bebek ditunjukkan. Dokter Dina memberi aba-aba agar aku menahan napas beberapa saat. Setelah selesai, perempuan berkerung abu-abu itu memberikan sampelnya kepada perawat yang menunggu.
“Kita periksa lab dulu, ya Bu. Hasilnya dua minggu lagi baru diketahui. Sekalian kontrol.”
Kami duduk berhadapan. Doter Dina menanyakan riwayat pernikahan dan siklus haid.
“Kira-kira sakit apa, Dok?”
“Kita tunggu saja hasil lab, Bu.” Dokter tersenyum.
Dua minggu berselang, aku ke mengambil hasil lab sekaligus kontrol ke Dokter Dina. Selama waktu menunggu, hatiku diliputi kecemasan.
“Suaminya tidak ikut mengantar?” sambut Dokter Dina ramah. Sore itu wajahnya terlihat letih.
Aku menggeleng membalas senyumnya dan pertanyaannya. Obat penahan nyeri yang diberikan manjur juga membuatku bertahan.
“Nggak ada keluarga?”
Dokter Dina menyelidik dengan kepala miring. Matanya menyipit menuntutku segera menjawab pertanyaan.
“Tidak ada siapa-siapa, Dok. Saya sendiri.” Ruangan beraroma alkohol membuatku sedikit pusing.
“Begini, Bu. Menurut hasil lab ini ....”
****
JANGAN PANGGIL THOR! AKU BUKAN AVENGER. PANGGIL SAJA BIDADARI HARUM MEWANGI MESKI BELUM MANDI Kusuma Widjayanti
SELENGKAPNYA BISA DIBACA DI KBMAPPs berjudul Nokturno (Maafkan aku)
Siang itu aku pulang dari Pengadilan Agama mengurus perceraian atas desakan keluarga karena weton kami tidak cocok. Anakku lahir bisu dan tuli. Hidup miskin. Harga sembako melambung tanpa kendali. BBM naik tinggi. Susu bayi tak terbeli. Krisis Moneter kian menyulitkan wong cilik. Aksi demo makin ricuh. Sekarang dokter mengatakan hasil pap smearku ....
****
#Nokturno
3
“Kamu kenapa, Ran?” tanya rekan kerjaku, Jessica,- gadis keturunan Chinese bermata sipit. Rambutnya lurus dicat warna orange. Kacamata bulat membuat kesan chubby di wajahnya. Di toko elektronik ini, ia menempati bagian accounting.
Siang itu terik sekali. Aku segera masuk ke ruangan dengan mesin pendingin. Kulemparkan tas di kursi, lalu kugeser sedikit untuk duduk. Kurebahkan kepala di meja Jessica. Roda kursi bergerak, kutarik lagi agar aku bisa duduk dengan tenang.
“Nggak tahu, nih. Nggak enak banget badanku,” keluhku.
Setelah berjalan dari ujung gang, kakiku terasa nyeri. Siang itu aku memakai flat-shoes kulit berwarna cokelat tua, dipadu pakaian setelan blazer warna senada. Karena gerah, kulepas pakaian itu dan menyampirkan di kursi.
Biasanya, aku hanya mengenakan kemeja polos dan celana bahan drill untuk bekerja. Setelah menyelesaikan kuliah D-3 Accounting di salah satu Perguruan Tinggi swasta di Jogja, aku diterima bekerja di toko Koh A Chung yang memiliki beberapa cabang di berbagai kota besar.
Jessica mengambilkan air mineral dan menyodorkannya padaku. “Pucet banget, lu! Pusing?”
Gadis berusia dua puluh lima tahun itu berdiri memijat bahuku. Kuangkat kepala dan meregangkan otot. Sudah lama tidak merasakan pijatan di bagian bahu dan punggung, rasanya nikmat sekali.
“Enggak.”
Kuremas-remas lagi bagian bawah perutku. Seperti ada mesin gilis sedang menekan kuat sekali. Denyutnya hingga membuat tubuhku gemetar.
“Lagi dapet kali?” Jessica mendekat. Jemari lentik bercat warna merah menyala, menyentuh puncak kepalaku.
Setelah kuiangat-ingat, jadwal menstruasi sudah seminggu lalu. Waktu itu juga sakit sekali di bagian perut. Sudah kucoba minum anti nyeri dan mengambil posisi nungging, tetap saja tidak hilang nyerinya.
“Udah minggu lalu,” jawabku dengan suara lemah. Kuteguk perlahan-lahan air yang diberikan Jessica, lega.
“Kayaknya kamu sering ngeluh gini. Apa sebaiknya nggak periksa saja?”
Jessica duduk kembali di kursinya setelah letih memijit. Ia menyingkirkan berkas-berkas laporan untuk menemaniku bicara.
Sudah hampir tiga tahun aku mengalami keputihan berlebihan dan siklus haid yang tidak menentu. Sering buang air dan cepat sekali merasa lelah, kaki pegal dan nyeri. Sekarang, sakit di bagian bawah tidak tertahan lagi. Rasanya aku mau pingsan saja.
“Kuanterin, deh,” usul Jessica. Wajahnya terlihat khawatir.
Jessica memang gadis baik. Meski kami berbeda, ia tidak pernah membahasnya. Gadis itu juga sangat menyayangi Gayatri.
“Besok aja, Jes,” tolakku pelan. “Aku hanya mau istirahat saja, minum obat anti nyeri. Paling setengah jam sudah sembuh.”
Aku berdiri sempoyongan. Kuambil tas dan pamit keluar. Jessica membimbing dengan mengaitkan tangannya di pinggang agar aku tidak jatuh.
“Yakin?” tanya Jessica. Sepertinya gadis itu tidak percaya dengan jawabanku.
Bagaimana mau percaya? Mulutku mengatakan yakin, tetapi langkahku tidak sempurna. Aku terhuyung dan bersandar ke dinding dekat pintu keluar. Jessica makin erat menjaga agar tubuhku tidak limbung.
Mungkin aku terlalu lelah. Mengurus pekerjaan rumah semenjak dini, menyiapkan keperluan sekolah Gayatri, memastikan semua berjalan dengan baik saat kutinggal hingga sore.
Ibu pernah berpesan agar aku tidak perlu terlalu perfeksinis. Manusia punya batas kemampuan fisik. Tidak bisa memaksakan diri sempurna dalam segala hal. Jika aku bekerja di luar rumah, tenagaku harus lebih banyak dilebihkan untuk pekerjaan. Sedangkan pekerjaan rumah, asal anak-anak makan dan suami kenyang, bisa ditunda jika badanku sudah segar.
Beginilah jadinya kalau memaksakan diri. Mencari nafkah yang seharusnya tugas Mas Gigih kuambil alih. Sementara tugas-tugas domestik tetap juga harus kubereskan. Dua pekerjaan yang sama-sama membutuhkan tenaga dan menguras pikiran.
Bersyukur saja Gayatri bukan termasuk anak yang rewel. Kadang gadis kecil itu bisa kuminta membantu menyapu dan mencuci piring. Meski tidak sebersih yang kuinginkan, paling tidak bisa sedikit mengurangi pekerjaan.
Mas Gigih ke mana saat aku letih bekerja dan mengurus rumah? Kalau tidak tidur, ya berkutat dengan kamera analog tuanya, menyusun gambar-gambar yang sudah dicetak, lalu mengamati setiap lembarnya sambil minum kopi di studio.
Studio yang kumaksud hanya sebuah ruangan tiga kali tiga meter yang terletak di sebelah kamar tidur Gayatri. Di sana ada sebuah meja dan kursi, seperangkat komputer, dindingnya dipenuhi tempelan foto yang tersusun tidak beraturan.
“Istirahat saja dulu. Nanti pulang bareng aku.” Jessica mengantarku ke bagian belakang ruko. Di sana disediakan tempat istirahat dan salat bagi karyawan muslim.
Aku mengangguk lemah. “Sepertinya besok pagi aku memang harus izin untuk memeriksakan diri. Sampaikan ke Koh A Chung. Aku libur sehari.”
“Kamu tidur dulu aja. Tunggu aku selesaikan laporan hari ini.”
“Makasih, Jess,” bisikku lirih. Kutelan obat anti nyeri yang selalu kubawa di tas dan meneguk air yang dibawakan Jessica.
Kucoba merebahkan diri dan meluruskan badan di lantai beralas karpet warna hijau. Ruangan kecil menjadi sejuk. Jessica menyalakan kipas angin agar aku tidak kegerahan. Lampu dinyalakan, semua terlihat benderang.
“Ada apa, Jess?” Beberapa pegawai berkerumun. Mereka mengintip ke dalam ruangan.
Jessica mengusir mereka dan berteriak. “Apaan, sih! Kerja lagi sono! Orang sakit malah jadi tontonan.”
Kulambaikan tangan dan memberi isyarat pada teman-temanku agar tidak perlu khawatir. Kebrikan senyum untuk menenangkan mereka.
Sorenya, dengan diantar Jessica dan tanpa memberi tahu Mas Gigih terlebih dahulu, aku memeriksakan diri ke klinik tak jauh dari rumah. Buat apa memberitahunya? Paling juga nggak punya duit untuk membayar tagihan dan obat-obatan.
Klinik tidak terlalu ramai. Saat namaku dipanggil, aku segera masuk menemui Dokter Dina,- dokter kandungan yang dulu membantu persalinan Gayatri. Perempuan paruh baya itu menyapaku dengan ramah.
“Wah, sudah lama sakitnya. Kenapa tidak pernah periksa?”
Dokter Dina memberi penjelasan tentang perlunya pap-smear bagi wanita yang sudah menikah. Seharusnya, pap-smear dilakukan setiap satu hingga dua tahun sekali bagi pasangan yang sudah menikah.
Jujur saja, aku takut menjalani rangkaian tesnya. Membayangkan ada alat besi masuk ke dalam tubuhku, rasanya ngilu dan sakit. Sore ini, aku pasrah saat Dokter Dina melakukan prosedur pap-smear.
Sebuah alat seperti cocor bebek ditunjukkan. Dokter Dina memberi aba-aba agar aku menahan napas beberapa saat. Setelah selesai, perempuan berkerung abu-abu itu memberikan sampelnya kepada perawat yang menunggu.
“Kita periksa lab dulu, ya Bu. Hasilnya dua minggu lagi baru diketahui. Sekalian kontrol.”
Kami duduk berhadapan. Doter Dina menanyakan riwayat pernikahan dan siklus haid.
“Kira-kira sakit apa, Dok?”
“Kita tunggu saja hasil lab, Bu.” Dokter tersenyum.
Dua minggu berselang, aku ke mengambil hasil lab sekaligus kontrol ke Dokter Dina. Selama waktu menunggu, hatiku diliputi kecemasan.
“Suaminya tidak ikut mengantar?” sambut Dokter Dina ramah. Sore itu wajahnya terlihat letih.
Aku menggeleng membalas senyumnya dan pertanyaannya. Obat penahan nyeri yang diberikan manjur juga membuatku bertahan.
“Nggak ada keluarga?”
Dokter Dina menyelidik dengan kepala miring. Matanya menyipit menuntutku segera menjawab pertanyaan.
“Tidak ada siapa-siapa, Dok. Saya sendiri.” Ruangan beraroma alkohol membuatku sedikit pusing.
“Begini, Bu. Menurut hasil lab ini ....”
****
JANGAN PANGGIL THOR! AKU BUKAN AVENGER. PANGGIL SAJA BIDADARI HARUM MEWANGI MESKI BELUM MANDI Kusuma Widjayanti
SELENGKAPNYA BISA DIBACA DI KBMAPPs berjudul Nokturno (Maafkan aku)