NOKTURNO 4

Posted by Kusuma Widjayanti on 07 May 2024

****
#Nokturno
4

“Katakan saja, Dok! Tidak apa-apa.“

Aku tidak sabar menunggu hasil laboratorium yang akan dibacakan Dokter Dina. Apapun yang akan dikatakan wanita berkerudung batik dengan senyum dipaksakan untuk menenangkan, akan kudengar dengan baik. Aku sudah siap lahir dan batin.

“Saya harus merujuk ibu ke bagian onkologi.” Dokter Dina meminta berkas rujukan pasien pada perawat.

“Maksudnya gimana, Dok?”

Aku masih belum paham dengan apa yang terjadi. Hasilnya belum apa, atau bagaimana?

“Ini surat rujukan ke Dokter Bahar, Spesialis Onkologi. Insya Allah nanti akan ditangani dengan baik oleh beliau. Semoga belum terlambat.” Dokter Dina tersenyum. Rona prihatin tergambar jelas.

“Dok, tolong jangan berbelit-belit!”

“Begini, Bu. Saya tidak bisa menjelaskan dengan baik, karena bukan spesialisasi saya. Dari hasil lab ini, ada yang mencurigakan. Nanti Dokter Bahar yang akan menjelaskan lebih detail. Beliau ada jadwal praktek malam ini. Bisa ambil antrian dulu ke bagian administrasi.”

“Sialan!” umpatku begitu keluar dari ruang praktek Dokter Kandungan.

Kenapa Dokter Dina tidak langsung saja mengatakan padaku? Terpaksa kutunda kepulangan karena ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Mengantre di Poli Spesialis, aku duduk tepat di depan ruang Dokter Bahar,- Dokter Spesialis Onkologi yang dimaksud oleh Dokter Dina. Malam ini masih ada lima pasien menunggu. Kulihat wajah-wajah letih dan putus asa.

Demi menjaga hati, aku melengos. Kualihkan perhatian dengan membaca poster-poster yang tertempel di dinding. Poster pap-smear, gejala kanker serviks, PHBS, dan lain-lain dengan gambar menarik mudah terbaca.

“Kanker apa, Mbak?” tanya seorang pasien perempuan yang duduk di sebelah kiri.

Usia perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Nonik, kurang lebih empat puluh tahun. Ia mengenakan penutup kepala berupa topi bucket berwarna hitam. Perawakan kecil dengan pakaian kedodoran.

“Kanker?” Aku tertegun dan menoleh. Ternyata ada yang memperhatikan kehadiranku.

“Iya, kan Dokter Bahar spesialis onkologi, yang menangani kanker.”

Kutepuk dahi dengan pukulan ringan. Pantas saja Dokter Dina tidak berterus terang. Mungkin karena aku periksa sendirian dan harus mendengarkan vonis dokter ahli penyakit kanker.

“Oh, iya. Saya lupa,” jawabku menyembunyikan rasa tidak nyaman.

Tiba-tiba saja aku merasa mual dan pening. Mbak Nonik pamit begitu namanya dipanggil perawat untuk masuk. Ia melambaikan tangan dan pamit.

“Sampai jumpa lagi!”

Kutatap pintu ruang praktik yag tertutup rapat. Aku menggigil seketika. Setelah ini tiba giliranku. Ternyata aku belum benar-benar siap menerima takdir jika Tuhan menetapkan penyakit kanker harus bersarang dalam raga.

Bagaimana Gayatri? Bagaimana dengan gugatan cerai? Bagaimana ini?

“Pasien atas nama Galuh Maharani, silakan masuk!” panggil perawat asisten Dokter Bahar, seorang perempuan berseragam serba putih dengan sebuah papan jalan di tangan kiri.

Aku berdiri dengan tubuh gemetar. Kanker jenis apa yang akan kuderita?

“Ya, suster!”

Menuju ruang praktik Dokter Bahar, nyaliku menjadi ciut. Kubayangkan betapa menderitanya hari-hari yang akan kulalui sebagai pasien penyakit kanker. Sampai di dalam ruangan yang dingin dan beraroma obat-obatan, aku duduk tak tenang.

Di hadapanku, Dokter Bahar tersenyum ramah. “Nyonya Galuh Maharani, keluhannya apa?”

Dokter Bahar, lelaki tua berambut perak, berpakaian necis, rambut klimis, cambang tipis, dan senyum bak artis India.

Aku terkesima untuk beberapa saat. Begitu pertanyaan diulang, barulah kuceritakan keluhan-keluhan tiga tahun terakhir.

Laki-laki di hadapanku, seorang ahli onkologi di Rumah Sakit ini, meneliti hasil lab yang kubawa. Keningnya berkerut. Beberapa detik kemudian tersenyum manis sekali.

“OK. Bu Galuh atau Bu Marahani?” tanya Dokter Bahar masih dalam senyum penuh simpati.

“Galuh saja, Dok.”

Kupaksa bibir ini untuk tersenyum meskipun berat. Hanya Jessica yang suka memanggilku Rani. Sama saja, toh keduanya namaku juga.

“Baik. Dari hasil pap-smear ini, ada sel-sel asing di leher rahim. Sel-sel ini bisa beresiko berkembang menjadi kanker.”

Dokter Bahar membaca setiap detil hasil lab yang kubawa. Beberapa kata asing dalam bahasa ilmiah tidak kumengerti.

Aku menelan ludah dan tercekik. Sel asing di leher rahim? Kanker?

“Kita akan melakukan tes Kolposkopi untuk memeriksa bagian leher rahim. Ibu sudah siap?”

Laki-laki itu menjelaskan prosedur yang harus kujalani untuk memeriksa lebih dekat kondisi leher rahim.

“Sekarang, Dok?”

Tentu saja aku terkejut. Aku belum siap. Nyeri saat pap-smear saja masih terasa ngilu. Sekarang harus melakukan tes lagi.

Aku meringis. Kalau tidak dilakukan sekarang, kapan lagi. Semakin cepat aku tahu, semakin mudah untuk ditindak lanjuti.

“Iya,” jawab Dokter Bahar. ”Bagaimana?”

Baiklah. Malam itu aku menjalani rangkaian tes untuk memastikan jenis sel apa yang dicurigai oleh Dokter Dina dan Dokter Bahar.

“Silakan!”

Dokter mempersilakan berbaring di kursi khusus. Ia juga memerintahkan agar tungkai kaki kubuka.

Cemas, ini reaksi pertamaku begitu sebuah alat kolposkopi mengaduk-aduk bagian bawah perut selama lima belas menit. Otot-otot terasa kram dan ngilu.

“Kita mulai, tahan napas sedikit!”

Setelah selesai, Dokter Bahar memberiku beberapa penjelasan dan surat kontrol dua minggu lagi sekaligus mengambil hasil kolposkopi.

“Terima kasih, Dok.”

Aku berjalan pulang dengan terkangkang-kangkang. Beruntung aku pakai rok panjang. Pulang dari Rumah Sakit, waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Lampu ruang tamu masih menyala.

Pintu kubuka. Derit engsel terdengar menyakitkan. Sudah saatnya diberi pelumas.

Mas Gigih belum tidur. Sepertinya menunggu kepulanganku. Ia sedang menonton berita di ruang tengah sambil rebah berselimut sarung. Puntung rokok berserakan di meja.

Televisi menyiarkan berita terakhir kondisi negeri. Desakan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri mulai berkumandang.

Sambil menghela napas, aku duduk di sisi Mas Gigih. Sofa ini sudah koyak. Per menyembul karena seringnya dijadikan arena lompat oleh Gayatri. Kain beludru telah pudar warnanya.

Jika waktu bisa diputar ulang kembali ke masa perjumpaanku dengan Mas Gigih, aku tetap akan memilih dan bertemu dengannya. Aku tidak pernah menyesali sebuah pertemuan yang telah lewat. Yang aku sangat kecewa adalah sikapku terhadapnya. Itu saja.

“Kok asem mukanya?”

Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Gigih. Bagaimana harus menceritakan tentang penyakit ini padanya, sedangkan sebentar lagi kami akan berpisah. Semua bukan karena kesalahannya, tetapi karena aku yang tidak tahan hidup miskin dan menderita bersama Mas Gigih.

“Mau jus jeruk?” tanya lelaki berkaus oblong itu.

Setiap hari Mas Gigih membeli jeruk. Tidak banyak, paling satu kilogram saja. Katanya, jeruk-jeruk itu bermanfaat untuk tubuh. Buah jeruk membantunya menjaga stamina karena merokok.

Jika sedang baik hati, Mas Gigih menyiapkan satu gelas jus jeruk untukku setiap kali pulang bekerja. Rasanya segar begitu cairan orange kuteguk.

“Kok diam saja? Ada masalah?” desak Mas Gigih mendekat.

Oh, Tuhan! Inilah hal yang paling kubenci dari Mas Gigih. Ia tidak pernah peka terhadap apa yang terjadi padaku.

Aku sudah mengatakan bahwa telah menggugat cerai, tetapi Mas Gigih masih saja memperlakukanku semanis ini.

*****

Jangan panggil Thor! Aku bukan Avenger. Panggil saja Bidadari Harum mewangi meski belum mandi Kusuma Widjayanti

Naskah lengkap di KBMApps